Kelainan
ini pertama kali diketahui oleh Seguin dalam tahun 1844, tetapi tanda-tanda
klinis tentang kelainan ini mula-mula diuraikan dalam tahun 1866 oleh seorang
dokter bangsa Inggris bernama J. Langdon Down. Berdasarkan fenotip dari pasien
yang menunjukan tanda-tanda tuna mental dan adanya lipatan pada kelopak mata,
maka kelainan ini semula disebut mongolisme.
Tetapi agar supaya tidak menyakiti hati bangsa Mongol, maka cacat ini
kemudian dinamakan sindroma Down.
Setelah
dibuat karyotipedari penderita, ternyata bahwa pasien mempunyai kelebihan
sebuah autosom nomor 21. Oleh karena kelainannya terjadi pada autosom, maka
penderita sindroma Down dapat laki-laki ataupun perempuan. Sehingga formula
kromosomnya dapat ditulis sebagai berikut:
Untuk
penderita laki-laki : 47, XY, +21
Untuk
penderita perempuan : 47, XX, +21
Cara
penulisan +21 berarti ada kelebihan autosom nomor 21.
Penderita
sindroma Down biasanya mempunyai tubuh pendek dan puntung, lengan atau kaki
kadang-kadang bengkok, kepala lebar, wajah membulat, mulut selalu terbuka,
ujung lidah besar,hidung lebar dan datar, kedua lubang hidung terpisah lebar,
jarak lebar antar dua mata,kelopak mata mempunyai kelopak mata epikantus
sehingga mirip dengan orang oriental, iris mata kadang-kadang berbintik yang
disebut bintik-bintik “Brushfield”
Berdasarkan
tanda-tanda yang menyolok itu biasanya dengan mudah kita dapat mengenalnya pada
pandangan pertama.
Tangan
dan kaki kelihatan lebar dan tumpul, telapak tangan kerpa kali memiliki garis tanganyang
khas abnormal, yaitu hanya sebuah garis mendatar saja.Ibu jar kaki dan jari
kedua ada kalanya tidak rapat.
Mata,
hidung dan mulut biasanya tampak kotor serta gigi rusak. Hali ini disebabkan
karena ia tidak sadar menjaga kebersihan dirinya sendiri. IQ rendah yaitu antara
25-75, kebanyakan kurang dari 40.
Biasanya mempunyai kelainan pada jantung dan tidak resisten terhadap
penyakit. Karena itu dulu penderita biasanya maksimal berumur 20 tahun, tetapi
dengan tersedianya berbagai macam antibiotika, maka usia mereka kini dapat
diperpanjang.
Pada
umumnya penderita sindroma Down selalu tampak gembira, mereka tidak sadar akan
cacat yang dideritanya.
Penderita
pria rupa-rupanya steril, walaupun hasil penelitian di “Panti Asih” (tempat
asuhan anak-anak penderita sindroma Down titipan berbagai keluarga yang
terletak di Pakem, Daerah Istimewa Yogyakarta) dapat diketahui bahwa cukup
banyak penderita pria melakukkan onani, suatu tanda bahwa mereka sebenarnya
mempunyai kesadaran seksual. Sebaliknya ada penderita yang dilaaporkan
melehirkna anak ( Bukan di Pakem). Risiko mendapatkan anak sindroma Down tidak
tergantung dari bangsa, kedudukan atau keadaan sosial orang tua. Pada saat ini sindroma Down merupakan
cacat (abnormalitas) kelahiran yang paling banyak dijumpai dengan frekuensi
satu dalam 600 kelahiran hidup.
Dari sudut sitologi dapat dibedakan
dua tipe sindrom Down:
1. Sindrom
Down Triplo 21
atau Trisomi 21, sehingga penderita
memiliki 47 kromosom. Penderita laki- laki = 47,XY, +21 sedang penderita perempuan
= 47,XX, +21. Kira- kira 92,5% dari kasus semua sindrom Down tergolong dalam
tipe ini.
2. Sindrom
Down Translokasi.
Translokasi ialah peristiwa terjadinya perubahan struktur kromosom, disebabkan
karena suatu potongan kromosom bersambung dengan potongan kromosom lainnya yg
bukan homolognya. Pada sindrom Down translokasi, lengan panjang dari autosom
nomor 21 melekat pada autosom lain, kadang- kadang dengan autosom nomor 15
tetapi yang lebih sering dengan autosom nomor 14. Dengan demikian individu yang
menderita sindrom Down translokasi memiliki 46 kromosom.
Kromosom yang mengalami translokasi
dinyatakan dengan tulisan: t(14q21q) yang dapat diartikan t = translokasi; 14q
= lengan panjang dari autosom 14; 21q = lengan panjang dari autosom 21 (Lengan
pendek dari sebuah kromosom dinyatakan dengan huruf p). Penderita dari kedua
tipe sindroma Down itu identik.
Terjadinya Anak Sindrom Down
Lahirnya anak sindrom Down itu
berhubungan erat dengan umur ibu. Tidak ada korelasi yang konsisten dengan umur
ayah. Semua perempuan lahir dengan semua oosit yang pernah dibentuknya., yaitu
berjumlah hampir tujuh juta. Semua oosit tadi berada dalam keadaan istirahat
pada profase I dari meiosis sejak sebelum ia lahir sampai mengadakan ovulasi.
Denagn demikian maka suatu oosit dapat tinggal dalam keadaan istirahat untuk
12-45 tahun. Selama waktu yang panjang itu, oosit dapat mengalami
nondisjunction. Berhubung dengan itu penderita sindrom Down biasanya terlahir
sebagai anak terakhir dari suatu keluarga besar atau dari seorang ibu yang
melahirkan pada usia agak lanjut.
Sebaliknya, testis menghasilkan kira-
kira 200 juta spermatozoa sehari dan meiosis di dalam spematosit keseluruhannya
membutuhkan waktu 48 jam atau kurang. Berhubung dengan itu nondisjunction boleh
dikata tidak pernah berlangsung selama spermatogenesis.
Pada sindroma Down trisomi-21,
nondisjunction dalam meiosis I menghasilkan ovum yang mengadung dua buah
autosom nomor 21 dan bila ovum ini dibuahi oleh spermatozoa normal yang membawa
autosom nomor 21, maka terbentuklah zigot trisomi-21.
Ada beberapa pendapat tentang
mengapa terjadi nondisjunction, yaitu:
a) Mungkin disebabkan adanya virus atau
karena ada kerusakan akibat radiasi. Gangguan ini makin mudah berpengaruh pada
wanita yang berumur tua.
b)
Mungkin
disebabkan adanya pengandungan antibody tiroid yang tinggi.
c) Sel telur akan mengalami
kemunduran apabila setelah satu jam berada di dalam saluran fallopii tidak
dibuahi. Oleh karena itu para ibu yang berusia agak lanjut (melebihi umur 35
tahun) biasanya akan menghadapi resiko lebih besar untuk mendapatkan anak sindroma
Down Tripel-21.
Akan
tetapi seperti diketahui, kadang-kadang dijumpai penderita sindroma Down yang
hanya memiliki 46 kromosom. Individu ini ialah penderita sindroma Down
translokasi 46,t(14q21q). Setelah kromosom dari orang-tuanya diselidiki
terbukti bahwa ayahnya normal, tetapi ibunya hanya memiliki 45 kromosom, yaitu
termasuk satu autosom 21, satu autosom 14 dan satu autosom translokasi 14q21q.
Jelaslah bahwa ibu merupakam “carrier” yang walaupun memiliki 45 kromosom
45,XX,t (14q21q) ia adalah normal. Sebaliknya, laki-laki “carrier” sindroma
Down translokasi tidak dikenal dan apa sebabnya demikian, sampai sekarang tidak
diketahui.
Ibu yang menjadi “carrier” tadi, yaitu 45,XX,t(14q21q)
akan membentuk sel telur dengan berbagai kemungkinan, seperti:
1. Sel
telur yang membawa autosom 14,21
2. Sel
telur yang membawa autosom translokasi 14q21q
3. Sel
telur yang membawa autosom t(14q21q),+21
4. Sel
telur yang membawa autosom 14
5. Sel
telur yang membawa autosom t(14q21q),+14
6. Sel
telur yang membawa autosom 21
Jadi
perkawinan orang laki-laki normal (46,XY) dengan perempuan “carrier” sindroma
Down translokasi yang tampak normal, yaitu 45,XX,t(14q21q) seperti pada kasus
di muka ini diharapkan menghasilkan keturunan dengan perbandingan fenotip 2
normal : 1 sindroma Down.
Tambahan atau
hilangnya kromosom besar (baik trisomi atau monosomi) bersifat letal.
Daftar
Pustaka
Suryo.
2010. Genetika Manusia. Yogyakarta:
Gajah Mada Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar