Abstrak
Spacer region antara 16s rDNA dan
23s rDNA digunakan untuk identifikasi species mikroorganisme. 16s rDNA dan 23s
rDNA digunakan sebagai primer karena hanya terdapat sedikit variasi sekuens
antar mikroorganisme. Kedua region tersebut digunakan sebagai primer dalam PCR
untuk mengamplifikasi spacer dari mikroorganisme. Hasil amplifikasi tersebut
merupakan campuran spacer dari banyak mikroorganisme, sehingga sebelum
disekuens harus dikloning dan dipisahkan. Untuk itu, spacer tersebut diinsert
dalam vektor dan ditransformasi dalam mikroba. Tujuan transformasi agar dapat
diisolasi masing-masing mikroba yang mengandung satu jenis insert (spacer) dan
selanjutnya disekuensing untuk menentukan species apa yang terdapat dalam
sample tersebut. Hasil sekuensing di BLAST dengan data dari NCBI untuk
menentukan spesies mikroba tersebut.
Latar
Belakang
Identifikasi
konsorsium mikroorganisme unculturable
pada minuman tradisional tuak dilakukan dengan metode metagenomik dimana dengan
menggunakan metode ini dapat diketahui mikroorganisme culturable dan unculturable
secara bersamaan. Mikroba unculturable
adalah mikroorganisme yang tidak dapat hidup dalam media laboratorium karena
banyaknya kemungkinan, salah satunya seperti kondisi lingkungan yang tidak
memungkinkan mikroorganisme tertentu untuk hidup sehingga tidak dapat
diidentifikasi. Maka untuk mengetahui konsorsium mikroorganisme yang diduga terdapat
dalam tuak serta memberikan aroma dan
rasa khas dilakukan cara identifikasi mikroorganisme unculturable
dengan metode metagenomik.
Metode metagenomik
dibagi menjadi tiga, yaitu identifikasi dengan menggunakan probe, identifikasi protein yang diproduksi mikroorganisme, dan
metode sekuensing. Metode metagenomik
yang akan digunakan adalah
metode sekuensing. Metode ini
digunakan untuk mengetahui konsorsium mikroorganisme hingga ke tingkat spesies. Kedua metode
yang lainnya hanya dapat digunakan jika mikroorganisme telah diketahui secara spesifik. Oleh karena
itu, metode sekuensing merupakan
metode paling ideal untuk identifikasi unculturable
mikroorganisme pada tuak.
Ambil sample dari
tuak
|
Isolasi DNA
|
Amplifikasi
dengan PCR (primer 16s dan 23s rDNA)
|
Insert DNA ke plasmid
pGEM-T
|
Isolasi DNA dari
satu koloni (hanya koloni warna putih)
|
PCR dengan primer
disekitar spacer
|
Elektroforesis
|
Jika band > 1
|
Gel cut
|
Jika band = 1
|
Sekuensing
|
BLAST sekuens
yang didapat di NCBI
|
Ulangi langkah
ini dengan koloni mikroba warna putih yang lain
|
Transformasi
plasmid ke mikroba
|
Screening dengan ampicilin
resisten dan blue
white screening
|
Pembahasan
Langkah Pertama, sampel
diambil dari tuak. Kemudian DNA dipurifikasi dengan cara melisiskan sel secara
kimia dengan menggunakan STE (Saline Tris
EDTA) untuk mendestabilisasi membran sel, serta detergen (SDS) untuk
menghilangkan lipid membran dan denaturasi protein. Kemudian protein
dihilangkan dengan menambahkan proteinase-K untuk mendegradasi protein,
kemudian dipisahkan dari DNA dengan Phenol-Chloroform
Extraction. Alkohol ditambahkan untuk mengendapkan DNA dan disentrifugasi
(ambil pelet). Pelet kemudian diresuspensi menggunakan Tris dan TE Buffer.
Langkah
berikutnya, DNA yang telah diisolasi tersebut di-PCR untuk memperbanyak DNA dengan
primer yang komplemen dengan 16s dan 23s rDNA. Primer ini digunakan karena sekuens
ini terdapat pada semua organisme karena semua organisme memiliki bagian dari sekuens
16s dan 23s rDNA yang sama (Highly-conserved),
sehingga dengan primer ini semua DNA dari mikroba dapat diamplifikasi. Selain
itu, dengan penggunaan primer ini mikroba
dapat ditentukan hingga tingkat spesies.
Berikut adalah skema dari DNA :
Dari gambar disamping dapat dilihat, terdapat
daerah bernama Internal Spacer Region(ISR)
atau “spacer”. Setiap organisme
memiliki sekuens dan panjang spacer yang
berbeda, sehingga dengan mengisolasi spacer
tersebut dan melakukan DNA sekuensing, maka dapat ditentukan
spesies apakah DNA tersebut. Dengan menggunakan primer 16s dan 23s tersebut,
akan didapatkan panjang hasil amplifikasi berkisar 200-600bp, sesuai panjang
spacer tiap-tiap mikroorganisme. PCR (Polymerase
Chain Reaction) adalah metode untuk mengamplifikasi DNA. Komponen yang ada
di PCR antara lain adalah:
-
Primer : sekuens pendek yang
menempel pada DNA template untuk tempat
memulai elongasi DNA. Dalam tahap ini yang digunakan adalah primer yang
komplemen dengan bagian akhir 16s dan 23s rDNA
-
Template : sekuens yang
berfungsi sebagai cetakan. Hasil PCR akan sesuai dengan templatenya.
-
dNTPs : building blocks (basa) untuk elongasi sekuens DNA baru (5’à
3’)
-
Taq
DNA Polimerase : enzim yang mengkatalisa reaksi polimerisasi.
-
Ion Mg2+ : umum
dipakai sebagai kofaktor enzim polimerase
-
Buffer: pengondisi reaksi
PCR agar berjalan optimum dan menstabilkan DNA polimerase.
Yang
diperhatikan dalam kasus ini adalah desain dari primer yang digunakan. Berikut
syarat umum primer dalam PCR :
-
Harus mengenali urutan yang
akan diamplifikasi
-
Harus mengandung G+C content sebesar 40-60%
-
Ukuran
primer berkisar antara 17-28 basa
-
Primer tidak boleh berkomplemen dengan bagian dari
primer sendiri.
-
Primer
reverse dan primer forward harus dihindari saling
berkomplemen, sehingga saling dapat membentuk ikatan atau menyatu.
Primer yang digunakan dalam tahap
ini komplemen dengan sekuens ujung 3’ 16s rDNA dan 23s rDNA yang polimerasinya
ke arah spacer, seperti pada gambar
dibawah.
Setelah memasukan semua komponen ke PCR, berikut hal yang
akan terjadi
dalam proses PCR tersebut :
Tahap awal adalah denaturasi, yaitu lepasnya double strand DNA menjadi single strand. Tahap selanjutnya adalah annealing, yaitu menempelnya primer di
sekuens yang komplemen dengan template. Suhu annealing umumnya 54ºC
tetapi juga tergantung pada komposisi G dan C pada template, jika komposisi G
dan C semakin tinggi, maka suhu annealing
juga semakin tinggi. Setelah annealing,
selanjutnya suhu diturunkan lagi hingga berkisar 72ºC, yaitu suhu dimana enzim bekerja optimal.
Pada tahap elongasi, primer yang menempel pada template diperpanjang dengan
bantuan enzim DNA polimerase dan membentuk untai baru dari dNTPs. Tahap diatas
adalah 1 siklus, dan dalam PCR sebaiknya dilakukan kurang dari 40 kali, karena
lebih dari itu, kerja enzim tidak akan optimal. Sebelum siklus pertama
(Pre-Denaturasi), denaturasi dilakukan 1-9 menit untuk kesempurnaan denaturasi
dan mengaktifasi DNA Polymerase (jenis hot-start
atau aktif setelah dipanaskan
terlebih dahulu), dan pada siklus terakhir (Final
Elongation), elongasi dilakukan lebih lama (kira-kira 15 menit) untuk
memastikan bahwa setiap untai tunggal yang tersisa sudah diperpanjang secara
sempurna.
Setelah selesai proses PCR, maka didapat banyak kopi dari
DNA spacer mikroba yang ujungnya
mengandung basa Adenin dikarenakan penggunaan Taq DNA polimerase dalam proses
PCR, tetapi kumpulan spacer tersebut
masih dari banyak jenis mikroba. Untuk mendapatkan spacer yang hanya dari satu mikroba saja, dapat dilakukan dengan
cara menginsert spacer tersebut ke dalam plasmid dan diklon dengan bantuan mikroba.
Plasmid yang digunakan harus khusus, yaitu :
-
Dapat menerima satu DNA saja
-
Dapat menampung jumlah base pair (bp) tertentu dari DNA yang di insert
-
Dapat dimasukan ke mikroba
untuk proses klon
-
Memiliki situs pemotongan
tertentu
-
Mudah diligasi
-
Dapat dilakukan screening apakah ter-insert dan ter-transformasi
Alasan digunakan plasmid
yang memiliki ujung Timin, karena hasil PCR dengan menggunakan Taq DNA
Polimerase akan menghasilkan ujung Adenin, agar dapat menempel pada plasmid dan
disatukan dengan DNA ligase. Alasan penggunaan plasmid pGEM-T karena plasmid ini
memenuhi semua syarat diatas, yaitu :
-
Blue
White Screening & Ampicilin resisten : untuk screening mikroba.
-
Overhang
T : agar spacer dapat terinsert ke plasmid dengan mudah, karena
hasil amplifikasi dengan Taq DNA Polimerase akan menghasilkan overhang A.
-
Rapid
ligation : terdapat buffer khusus yaitu rapid ligation buffer dari kit pGEM-T
Untuk mengoptimasi ligasi insert dan plasmid, maka digunakan
perbandingan konsentrasi molar antara plasmid dengan insert sebesar 1:1.
Setelah dimasukan ke dalam plasmid, selanjutnya plasmid
yang terinsert itu ditransformasi
kedalam mikroba untuk proses kloning. Tujuan dimasukan ke dalam mikroba ini
adalah untuk memperbanyak jumlah plasmid sekaligus untuk memisahkan
masing-masing jenis dari spacer yang
dibawa oleh plasmid. Setiap mikroba dapat menerima satu atau lebih plasmid, karena
itu, diusahakan mikroba hanya menerima satu plasmid saja, agar saat diisolasi
didapat satu jenis DNA saja.
Untuk melakukan
transformasi, dapat dilakukan dengan cara heat
shock. Sebenarnya terdapat beberapa cara untuk melakukan transformasi,
yaitu heat shock, gene gun, dan electric field, dan yang dilakukan dalam
praktikum ini adalah metode heat shock.
Metode heat shock ini paling banyak
digunakan, karena metode ini paling mudah dilakukan dan tidak butuh biaya
banyak. Prinsip dari metode ini adalah dengan memberi panas di mikroba yang
sudah ditambah plasmid. Tujuan pemberian panas ini adalah untuk membuka celah
berupa pori-pori dipermukaan sel agar plasmid dapat masuk dalam sel dan juga
menurunkan potensial dari membran sehingga memfasilitasi plasmid untuk masuk ke dalam sel. Metode lain juga
bisa digunakan, namun membutuhkan biaya besar dan lebih rumit. Setelah
melakukan transformasi, mikroba dipisahkan dengan cara streak plate. Metode streak
plate dipilih karena merupakan metode yang umum, mudah, serta memiliki
kemungkinan berhasil yang lebih tinggi. Metode ini bertujuan untuk mendapatkan
satu koloni mikroba yang berasal dari satu jenis saja setelah diinkubasi. Mikroba
yang dibiakan dapat dilihat yang tertransformasi dengan plasmid yang memiliki insert atau tidak dengan blue white screening.
Blue white screening didasarkan pada pemasukan insert
gen yang diinginkan ke dalam gen LacZ yang mengkode enzim β-galactosidase. β-galactosidase
menghasilkan 5-bromo-4-chloro-3-hydroxyindole yang jika teroksidasi akan
berwarna biru sehingga sel berwarna biru. Pada sel yang terinsert pada gen LacZ enzim β-galactosidase tidak terekspresi
sehingga koloni berwarna putih. Sedangkan fungsi marker ampicillin adalah untuk
mengenali sel apakah telah tertransformasi dengan cara melihat resisten atau tidaknya mikroba terhadap media yang mengandung ampicillin. Mikroba yang
tertransformasi dapat resisten karena gen plasmid akan mengekspresi enzim beta
lactamase yang dapat merusak ampicillin sehingga mikroba yang tertransformasi
dapat tumbuh di media yang mengandung ampicillin, sedangkan mikroba yang tidak
tertransformasi tidak dapat tumbuh.
Setelah mendapatkan koloni yang berisi insert, dilakukan isolasi plasmid DNA
dari koloni tersebut. Prinsip dari isolasi plasmid sama dengan isolasi DNA,
hanya saja isolasi plasmid tidak menggunakan proteinase-K untuk denaturasi
protein. Plasmid diisolasi dengan cara melisiskan sel secara kimia dengan
menggunakan STE (Saline Tris EDTA)
untuk mendestabilisasi membran sel serta menambahkan detergen (SDS) untuk
menghilangkan lipid membran. Kemudian
dilakukan tahap denaturasi DNA dengan cara menambah NaOH, sehingga DNA menjadi single strand, lalu netralisasi dengan
larutan KOAc untuk mengendapkan protein, kromosomal DNA, dan sisa SDS lalu disentrifuge (ambil supernatan). Tahap
netralisasi tersebut juga berguna untuk
renaturasi DNA plasmid. Setelah renaturasi, dilakukan presipitasi dengan etanol.
Tujuan tahap ini adalah untuk mengendapkan DNA, karena sifat DNA tidak larut etanol,
sehingga dapat mengendapkan DNA dan melarutkan pengotor yang larut etanol.
Selanjutnya pelet yang mengandung plasmid diambil dan diresuspensi dengan
buffer.
Setelah didapat plasmid dari koloni mikroba yang terinsert, selanjutnya dilakukan PCR dengan
primer yang berada didekat insert (spacer). Berikut adalah gambar dari
plasmid pGEM-T :
Spacer
dari mikroba diinsertkan ke plasmid
dibagian LacZ, yaitu bagian dari gambar diatas yang memiliki overhang T (warna
krem). Dalam proses PCR, primer yang digunakan adalah sekuen di samping insert, sehingga hasil amplifikasinya
adalah insert dan beberapa bp dari plasmid tersebut.
Setelah selesai PCR, didapatkan DNA yang mengandung spacer dan basa dari plasmid, tetapi spacer yang didapat tersebut belum tentu berasal dari satu jenis
mikroba saja, karena spacer tersebut
didapat dari satu koloni mikroba, yang bisa saja terinsert lebih dari satu plasmid, karena itu sebelum disekuens, harus
dilakukan elektroforesis. Setiap mikroba, memiliki spacer yang panjang basanya tidak tentu sama, karena itu perlu
dilakukan pengecekan dengan elektroforesis untuk mencegah kemungkinan mikroba
tersebut ter-transformasi lebih dari satu plasmid. Gel yang digunakan dalam
elektroforesis ini adalah polyacrilamide,
karena DNA spacer antara 16s dan 23s
rDNA memiliki panjang base pair yang
cukup pendek.
Elektroforesis adalah metode untuk analisis DNA
berdasarkan panjang basa. DNA bermuatan negatif, sehingga DNA dapat “ditarik”
dengan muatan positif dari sumber tegangan listrik. Pada elektroforesis
digunakan matrix berupa gel yang
berguna menghambat jalannya DNA ke muatan positif, DNA lebih kecil akan lebih
cepat melewati gel matrix. Matrix gel ini ada dua jenis, yaitu agarose dan polyacrilamide. Agarose
digunakan untuk wide size range DNA
(300-40000bp) dan polyacrilamide
unruk narrow size range DNA
(20-2000bp). Untuk elektroforesis spacer,
digunakan polyacrilamide, karena
ukuran DNA spacer termaksud narrow size range DNA. Hasil
elektroforesis adalah pita yang terbentuk di gel, dan dapat dilihat dengan
sinar UV karena dalam proses elektroforesis juga ditambahkan EtBr yang menempel
diantara basa nukleotida dan memberi pendaran warna jika diberi sinar UV.
Jika hasil elektroforesis hanya terdapat satu pita saja,
DNA tersebut dapat langsung disekuensing, sedangkan jika terdapat lebih dari
satu pita, harus dilakukan gel cut
terlebih dahulu untuk memisahkan spacer
dari jenis mikroba yang berbeda.
Gel cut adalah
metode untuk mengambil atau memurnikan DNA dari gel hasil elektroforesis.
Tujuan dari gel cut ini adalah untuk
mengambil DNA dari band yang ada di hasil elektroforesis. Tahap awal gel cut adalah pemotongan gel. Kemudian potongan tersebut ditimbang dan dilarutkan menggunakan binding buffer
untuk melarutkan gel dan dilakukan sentrifuge. Setelah itu kit dicuci dengan washing
buffer kemudian disentrifuge
lagi untuk memurnikan DNA. Setelah menggunakan washing buffer, kit dielusi dengan air
(ddH2O). Air digunakan untuk mengelusi, karena bila buffer
diigunakan untuk mengelusi, dapat mengganggu proses sekuensing.
Setelah melakukan elektroforesis dan
gel cut (jika hasil elektroforesis
terdapat lebih dari satu band), selanjutnya adalah DNA disekuensing. Metode
yang digunakan adalah metode dye
terminator, yaitu PCR dengan menambahkan komponen khusus ddNTPs. Kegunaan
bahan khusus tersebut adalah memberi warna pada ujung basa dan untuk
menghentikan penambahan basa saat elongasi di PCR. Berikut alat dan bahan yang
digunakan pada metode dye terminator :
-
PCR : untuk mengamplifikasi
DNA
-
dNTPs : sebagai bahan
penyusun untai DNA baru
-
ddNTPs : sama dengan dNTPs
hanya saja akan memberi pendaran warna yang berbeda untuk masing-masing basa
(A,T,G,C) dan juga untuk menghentikan proses polimerasi PCR, sehingga ujung
setiap hasil PCR adalah ddNTPs
Bahan lainnya sama dengan
proses PCR biasa. Metode dye-terminator
dipilih karena dapat membaca hampir keseluruhan dari DNA yang diinginkan serta
hemat waktu. Proses sekuensing ini dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3 kali
untuk tiap primer, untuk memastikan bahwa hasil pembacaan sudah tepat. Primer
yang digunakan adalah primer yang komplemen dengan sekuens disamping insert (sebelum dan sesudah insert). Primer ini dipilih, karena
keterbatasan sekuens yang bisa terbaca. Sebanyak kurang lebih 20 basa awal dan
akhir dari sekuens yang disekuens tidak dapat terbaca. Hal yang perlu
diperhatikan, setiap primer harus dijalankan masing-masing. Berikut contoh
hasil dye terminator tersebut :
Pada proses elongasi,
nukleotida diambil secara random hingga suatu saat diambil ddNTPs yang
menghentikan pemanjangan tersebut. Dari hasil PCR tersebut, DNA dapat
disekuensing sesuai warna seperti gambar diatas, dan untuk mengurutkannya pada
alat sekuenser digunakan prinsip seperti elektroforesis, dimana fragmen yang
ukurannya lebih rendah akan dibaca terlebih dahulu.
Setelah didapat satu sekuens, untuk mencari spesies sekuens
DNA tersebut, dilakukan metode BLAST,
yaitu mencari kemiripan sekuens DNA dengan sekuens DNA yang sudah diketahui spesiesnya, yang terdapat dalam
data NCBI. Sekuens yang didapat dari proses diatas diinput dan di BLAST,
kemudian akan keluar persentase kemiripan dari semua spesies yang sudah diketahui
DNAnya. Cara ini dapat dilakukan karena spacer
antara 16s rDNA dan 23s rDNA spesifik terhadap satu spesies tertentu.
Untuk
mendapatkan semua spesies
yang ada didalam tuak tersebut, ulangi langkah mengambil satu koloni mikroba
yang berbeda dari agar plate hingga
tahap sekuensing. Metode diatas cukup untuk menentukan sebagian besar spesies mikroba yang terdapat
dalam sampel.
Namun masih terdapat beberapa kekurangan, yaitu :
-
Banyaknya perulangan dari
proses pengambilan koloni mikroba hingga sekuensing.
-
Adanya DNA yang tidak teramplifikasi
saat PCR pertama karena terlalu banyak jenis DNA yang digunakan sebagai template sehingga tidak dapat disekuensing.
-
Banyak DNA yang tidak ikut
terinsert dan tertransformasi ke mikroba
sehingga tidak dapat di sekuensing.
-
Ada kemungkinan kecil mikroba
terinsert oleh dua plasmid insert DNA yang panjang basanya hampir
sama sehingga hasil elektroforesis hanya menunjukan satu band dan saat disekuensing, data
tidak terbaca.
Kesimpulan
Metagenomik
adalah suatu metode penelitian dimana sampel diambil langsung dari lingkungan dalam
bentuk konsorsium mikroba. Untuk mengidentifikasi spesies dari sample,
digunakan metode sekuensing dari spacer atau ISR (diantara 16s rDNA dan
23s rDNA) dimana setiap spesies memiliki sekuens yang berbeda. Setelah itu,
dilakukan metode BLAST dari NCBI.
Prinsip dari BLAST adalah mencari
persentase kemiripan suatu sekuens DNA dengan DNA dari organisme yang sudah
diketahui.
Daftar Pustaka
Barry T., et al. 1991. The 16s/23s ribosomal spacer region as a target for DNA probes to identify eubacteria. Genome Research
Birren, B. Et al. 1997. Genome analysis: A Laboratory Manual Volume 1. Cold
Spring Harbor Laboratory Press
Birren, B. Et al. 1997. Genome analysis: A Laboratory Manual Volume 3. Cold Spring Harbor Laboratory
Press
Boyer, Sarah L., Valerie R. Flechtner, dan
Jeffrey R. Johansen. 2001. Is the 16S–23S
rRNA Internal Transcribed Spacer Region a Good Tool for Use in Molecular
Systematics and Population Genetics? A Case Study in Cyanobacteria. http://mbe.oxfordjournals.org/.
Graham, Thomas A. 1990. Characterization of The 16s/23s Ribosomal Rna Intergenic Spacer Regions
of Listeria.
Simon
Fraser University.
Hookey, J.V., R. J. Birtles, dan N. A. Saunders. 1995.
Intergenic 16S rRNA Gene (rDNA)-23S rDNA
Sequence Length Polymorphisms in Members of the Family Legionellaceae.
Journal of Clinical Microbiology.
Isenbarger, Thomas A. et al. 2008. The Most Conserved Genome Segments for
Life Detection on Earth and Other Planets. Springer Science.
Nobutada, Kimura. 2006. Metagenomics: Access to Unculturable Microbes in the Enviroment.
Rega, K.
Et al. Handout Teknik Analisa DNA.
Universitas Surabaya.
Riesenfeld, Christian S., Patrick D. Schloss.
2004. METAGENOMICS: Genomic Analysis of Microbial
Communities. Annual Review of Genetics.
Zeyaullah,
Md. et al. 2009. Metagenomics - An
advanced approach for non–cultivable micro-organisms.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar