Related

  • B. Biology, campbell reece mitchell
  • B. Frankenstein
  • B. Introduction to biotechnology
  • B. Molecular biology
  • F. Avatar
  • F. Frankenstein
  • F. Hollowman
  • F. Hulk
  • F. Jurassic park
  • F. The island
  • F. The personal
  • many more

Interesting films and books about biotechnology

  • B. Biology, campbell reece mitchell
  • B. Frankenstein, marry shelleys
  • B. Introduction of Biotechnology
  • F. Avatar
  • F. Discovery series
  • F. Frankenstein
  • F. Hollowman
  • F. Island
  • F. Jurassic park
  • F. The personal

Welcome to biotechnology's world

Do you know avatar's film? or maybe jurassic park? it'snt just a fantasy.. We can learn to build superhero or monster in easy step that we'll know in biotechnology. With easy treatment, we can make a little things became worth as gold. Want to know your capability, natural gift, mind, or psychological ? it's easy.. just look at your DNA and all things in your life's will be reavealed. Interest? Check this out, dont miss it!!

Rabu, 07 September 2011

Simulasi konsorsium mikroba dari tuak menggunakan metagenomik


Abstrak
Spacer region antara 16s rDNA dan 23s rDNA digunakan untuk identifikasi species mikroorganisme. 16s rDNA dan 23s rDNA digunakan sebagai primer karena hanya terdapat sedikit variasi sekuens antar mikroorganisme. Kedua region tersebut digunakan sebagai primer dalam PCR untuk mengamplifikasi spacer dari mikroorganisme. Hasil amplifikasi tersebut merupakan campuran spacer dari banyak mikroorganisme, sehingga sebelum disekuens harus dikloning dan dipisahkan. Untuk itu, spacer tersebut diinsert dalam vektor dan ditransformasi dalam mikroba. Tujuan transformasi agar dapat diisolasi masing-masing mikroba yang mengandung satu jenis insert (spacer) dan selanjutnya disekuensing untuk menentukan species apa yang terdapat dalam sample tersebut. Hasil sekuensing di BLAST dengan data dari NCBI untuk menentukan spesies mikroba tersebut.
Latar Belakang
Identifikasi konsorsium mikroorganisme unculturable pada minuman tradisional tuak dilakukan dengan metode metagenomik dimana dengan menggunakan metode ini dapat diketahui mikroorganisme culturable dan unculturable secara bersamaan. Mikroba unculturable adalah mikroorganisme yang tidak dapat hidup dalam media laboratorium karena banyaknya kemungkinan, salah satunya seperti kondisi lingkungan yang tidak memungkinkan mikroorganisme tertentu untuk hidup sehingga tidak dapat diidentifikasi. Maka untuk mengetahui konsorsium mikroorganisme yang diduga terdapat dalam tuak serta memberikan aroma dan rasa khas dilakukan cara identifikasi mikroorganisme unculturable dengan metode metagenomik.
Metode metagenomik dibagi menjadi tiga, yaitu identifikasi dengan menggunakan probe, identifikasi protein yang diproduksi mikroorganisme, dan metode sekuensing. Metode metagenomik yang akan digunakan adalah metode sekuensing. Metode ini digunakan untuk mengetahui konsorsium mikroorganisme hingga ke tingkat spesies. Kedua metode yang lainnya hanya dapat digunakan jika mikroorganisme telah diketahui secara spesifik. Oleh karena itu, metode sekuensing merupakan metode paling ideal untuk identifikasi unculturable mikroorganisme pada tuak.
Ambil sample dari tuak
Metode
Isolasi DNA
Amplifikasi dengan PCR (primer 16s dan 23s rDNA)
Insert DNA ke plasmid pGEM-T
Isolasi DNA dari satu koloni (hanya koloni warna putih)
PCR dengan primer disekitar spacer
Elektroforesis
Jika band > 1
Gel cut
Jika band = 1
Sekuensing
BLAST sekuens yang didapat di NCBI
Ulangi langkah ini dengan koloni mikroba warna putih yang lain
Transformasi plasmid ke mikroba
Screening dengan ampicilin resisten dan blue white screening
 




































Pembahasan
Langkah Pertama, sampel diambil dari tuak. Kemudian DNA dipurifikasi dengan cara melisiskan sel secara kimia dengan menggunakan STE (Saline Tris EDTA) untuk mendestabilisasi membran sel, serta detergen (SDS) untuk menghilangkan lipid membran dan denaturasi protein. Kemudian protein dihilangkan dengan menambahkan proteinase-K untuk mendegradasi protein, kemudian dipisahkan dari DNA dengan Phenol-Chloroform Extraction. Alkohol ditambahkan untuk mengendapkan DNA dan disentrifugasi (ambil pelet). Pelet kemudian diresuspensi menggunakan Tris dan TE Buffer.
            Langkah berikutnya, DNA yang telah diisolasi tersebut di-PCR untuk memperbanyak DNA dengan primer yang komplemen dengan 16s dan 23s rDNA. Primer ini digunakan karena sekuens ini terdapat pada semua organisme karena semua organisme memiliki bagian dari sekuens 16s dan 23s rDNA yang sama (Highly-conserved), sehingga dengan primer ini semua DNA dari mikroba dapat diamplifikasi. Selain itu, dengan  penggunaan primer ini mikroba dapat ditentukan hingga tingkat spesies. Berikut adalah skema dari DNA :
Dari gambar disamping dapat dilihat, terdapat daerah bernama Internal Spacer Region(ISR) atau “spacer”. Setiap organisme memiliki sekuens dan panjang spacer yang berbeda, sehingga dengan mengisolasi spacer tersebut dan melakukan DNA sekuensing, maka dapat ditentukan spesies apakah DNA tersebut. Dengan menggunakan primer 16s dan 23s tersebut, akan didapatkan panjang hasil amplifikasi berkisar 200-600bp, sesuai panjang spacer tiap-tiap mikroorganisme. PCR (Polymerase Chain Reaction) adalah metode untuk mengamplifikasi DNA. Komponen yang ada di PCR antara lain adalah:
-        Primer : sekuens pendek yang menempel pada DNA template untuk tempat memulai elongasi DNA. Dalam tahap ini yang digunakan adalah primer yang komplemen dengan bagian akhir 16s dan 23s rDNA
-        Template : sekuens yang berfungsi sebagai cetakan. Hasil PCR akan sesuai dengan templatenya.
-        dNTPs : building blocks (basa) untuk elongasi sekuens DNA baru (5’à 3’)
-        Taq DNA Polimerase : enzim yang mengkatalisa reaksi polimerisasi.
-        Ion Mg2+ : umum dipakai sebagai kofaktor enzim polimerase
-        Buffer: pengondisi reaksi PCR agar berjalan optimum dan menstabilkan DNA polimerase.
Yang diperhatikan dalam kasus ini adalah desain dari primer yang digunakan. Berikut syarat umum primer dalam PCR :
-        Harus mengenali urutan yang akan diamplifikasi
-        Harus mengandung G+C content sebesar 40-60%
-        Ukuran primer berkisar antara 17-28 basa
-        Primer  tidak boleh berkomplemen dengan bagian dari primer sendiri.
-        Primer reverse dan primer forward harus dihindari saling berkomplemen, sehingga saling dapat membentuk ikatan atau menyatu.
Primer yang digunakan dalam tahap ini komplemen dengan sekuens ujung 3’ 16s rDNA dan 23s rDNA yang polimerasinya ke arah spacer, seperti pada gambar dibawah.
            Setelah memasukan semua komponen ke PCR, berikut hal yang akan terjadi dalam proses PCR tersebut :
 Tahap awal adalah denaturasi, yaitu lepasnya double strand DNA menjadi single strand. Tahap selanjutnya adalah annealing, yaitu menempelnya primer di sekuens yang komplemen dengan template. Suhu annealing umumnya 54ºC tetapi juga tergantung pada komposisi G dan C pada template, jika komposisi G dan C semakin tinggi, maka suhu annealing juga semakin tinggi. Setelah annealing, selanjutnya suhu diturunkan lagi hingga berkisar 72ºC, yaitu suhu dimana enzim bekerja optimal. Pada tahap elongasi, primer yang menempel pada template diperpanjang dengan bantuan enzim DNA polimerase dan membentuk untai baru dari dNTPs. Tahap diatas adalah 1 siklus, dan dalam PCR sebaiknya dilakukan kurang dari 40 kali, karena lebih dari itu, kerja enzim tidak akan optimal. Sebelum siklus pertama (Pre-Denaturasi), denaturasi dilakukan 1-9 menit untuk kesempurnaan denaturasi dan mengaktifasi DNA Polymerase (jenis hot-start atau aktif setelah dipanaskan terlebih dahulu), dan pada siklus terakhir (Final Elongation), elongasi dilakukan lebih lama (kira-kira 15 menit) untuk memastikan bahwa setiap untai tunggal yang tersisa sudah diperpanjang secara sempurna.
            Setelah selesai proses PCR, maka didapat banyak kopi dari DNA spacer mikroba yang ujungnya mengandung basa Adenin dikarenakan penggunaan Taq DNA polimerase dalam proses PCR, tetapi kumpulan spacer tersebut masih dari banyak jenis mikroba. Untuk mendapatkan spacer yang hanya dari satu mikroba saja, dapat dilakukan dengan cara menginsert spacer tersebut ke dalam plasmid dan diklon dengan bantuan mikroba. Plasmid yang digunakan harus khusus, yaitu :
-        Dapat menerima satu DNA saja
-        Dapat menampung jumlah base pair (bp) tertentu dari DNA yang di insert
-        Dapat dimasukan ke mikroba untuk proses klon
-        Memiliki situs pemotongan tertentu
-        Mudah diligasi
-        Dapat dilakukan screening apakah ter-insert dan ter-transformasi
Alasan digunakan plasmid yang memiliki ujung Timin, karena hasil PCR dengan menggunakan Taq DNA Polimerase akan menghasilkan ujung Adenin, agar dapat menempel pada plasmid dan disatukan dengan DNA ligase. Alasan penggunaan plasmid pGEM-T karena plasmid ini memenuhi semua syarat diatas, yaitu :
-        Blue White Screening  & Ampicilin resisten : untuk screening mikroba.
-        Overhang T : agar spacer dapat terinsert ke plasmid dengan mudah, karena hasil amplifikasi dengan Taq DNA Polimerase akan menghasilkan overhang A.
-        Rapid ligation : terdapat buffer khusus yaitu rapid ligation buffer dari kit pGEM-T
Untuk mengoptimasi ligasi insert dan plasmid, maka digunakan perbandingan konsentrasi molar antara plasmid dengan insert sebesar 1:1.
            Setelah dimasukan ke dalam plasmid, selanjutnya plasmid yang terinsert itu ditransformasi kedalam mikroba untuk proses kloning. Tujuan dimasukan ke dalam mikroba ini adalah untuk memperbanyak jumlah plasmid sekaligus untuk memisahkan masing-masing jenis dari spacer yang dibawa oleh plasmid. Setiap mikroba dapat menerima satu atau lebih plasmid, karena itu, diusahakan mikroba hanya menerima satu plasmid saja, agar saat diisolasi didapat satu jenis DNA saja.
Untuk melakukan transformasi, dapat dilakukan dengan cara heat shock. Sebenarnya terdapat beberapa cara untuk melakukan transformasi, yaitu heat shock, gene gun, dan electric field, dan yang dilakukan dalam praktikum ini adalah metode heat shock. Metode heat shock ini paling banyak digunakan, karena metode ini paling mudah dilakukan dan tidak butuh biaya banyak. Prinsip dari metode ini adalah dengan memberi panas di mikroba yang sudah ditambah plasmid. Tujuan pemberian panas ini adalah untuk membuka celah berupa pori-pori dipermukaan sel agar plasmid dapat masuk dalam sel dan juga menurunkan potensial dari membran sehingga memfasilitasi plasmid untuk masuk ke dalam sel. Metode lain juga bisa digunakan, namun membutuhkan biaya besar dan lebih rumit. Setelah melakukan transformasi, mikroba dipisahkan dengan cara streak plate. Metode streak plate dipilih karena merupakan metode yang umum, mudah, serta memiliki kemungkinan berhasil yang lebih tinggi. Metode ini bertujuan untuk mendapatkan satu koloni mikroba yang berasal dari satu jenis saja setelah diinkubasi. Mikroba yang dibiakan dapat dilihat yang tertransformasi dengan plasmid yang memiliki insert atau tidak dengan blue white screening.
Blue white screening didasarkan pada pemasukan insert gen yang diinginkan ke dalam gen LacZ yang mengkode enzim β-galactosidase. β-galactosidase menghasilkan 5-bromo-4-chloro-3-hydroxyindole yang jika teroksidasi akan berwarna biru sehingga sel berwarna biru. Pada sel yang terinsert pada gen LacZ enzim β-galactosidase tidak terekspresi sehingga koloni berwarna putih. Sedangkan fungsi marker ampicillin adalah untuk mengenali sel apakah telah tertransformasi dengan cara melihat resisten atau tidaknya mikroba terhadap media yang mengandung ampicillin. Mikroba yang tertransformasi dapat resisten karena gen plasmid akan mengekspresi enzim beta lactamase yang dapat merusak ampicillin sehingga mikroba yang tertransformasi dapat tumbuh di media yang mengandung ampicillin, sedangkan mikroba yang tidak tertransformasi tidak dapat tumbuh.
            Setelah mendapatkan koloni yang berisi insert, dilakukan isolasi plasmid DNA dari koloni tersebut. Prinsip dari isolasi plasmid sama dengan isolasi DNA, hanya saja isolasi plasmid tidak menggunakan proteinase-K untuk denaturasi protein. Plasmid diisolasi dengan cara melisiskan sel secara kimia dengan menggunakan STE (Saline Tris EDTA) untuk mendestabilisasi membran sel serta menambahkan detergen (SDS) untuk menghilangkan lipid membran. Kemudian dilakukan tahap denaturasi DNA dengan cara menambah NaOH, sehingga DNA menjadi single strand, lalu netralisasi dengan larutan KOAc untuk mengendapkan protein, kromosomal DNA, dan sisa SDS lalu disentrifuge (ambil supernatan). Tahap netralisasi tersebut juga  berguna untuk renaturasi DNA plasmid. Setelah renaturasi, dilakukan presipitasi dengan etanol. Tujuan tahap ini adalah untuk mengendapkan DNA, karena sifat DNA tidak larut etanol, sehingga dapat mengendapkan DNA dan melarutkan pengotor yang larut etanol. Selanjutnya pelet yang mengandung plasmid diambil dan diresuspensi dengan buffer.
            Setelah didapat plasmid dari koloni mikroba yang terinsert, selanjutnya dilakukan PCR dengan primer yang berada didekat insert (spacer). Berikut adalah gambar dari plasmid pGEM-T :
Spacer dari mikroba diinsertkan ke plasmid dibagian LacZ, yaitu bagian dari gambar diatas yang memiliki overhang T (warna krem). Dalam proses PCR, primer yang digunakan adalah sekuen di samping insert, sehingga hasil amplifikasinya adalah insert dan beberapa bp dari plasmid tersebut. Setelah selesai PCR, didapatkan DNA yang mengandung spacer dan basa dari plasmid, tetapi spacer yang didapat tersebut belum tentu berasal dari satu jenis mikroba saja, karena spacer tersebut didapat dari satu koloni mikroba, yang bisa saja terinsert lebih dari satu plasmid, karena itu sebelum disekuens, harus dilakukan elektroforesis. Setiap mikroba, memiliki spacer yang panjang basanya tidak tentu sama, karena itu perlu dilakukan pengecekan dengan elektroforesis untuk mencegah kemungkinan mikroba tersebut ter-transformasi lebih dari satu plasmid. Gel yang digunakan dalam elektroforesis ini adalah polyacrilamide, karena DNA spacer antara 16s dan 23s rDNA memiliki panjang base pair yang cukup pendek.
Elektroforesis adalah metode untuk analisis DNA berdasarkan panjang basa. DNA bermuatan negatif, sehingga DNA dapat “ditarik” dengan muatan positif dari sumber tegangan listrik. Pada elektroforesis digunakan matrix berupa gel yang berguna menghambat jalannya DNA ke muatan positif, DNA lebih kecil akan lebih cepat melewati gel matrix. Matrix gel ini ada dua jenis, yaitu agarose dan polyacrilamide. Agarose digunakan untuk wide size range DNA (300-40000bp) dan polyacrilamide unruk narrow size range DNA (20-2000bp). Untuk elektroforesis spacer, digunakan polyacrilamide, karena ukuran DNA spacer termaksud narrow size range DNA. Hasil elektroforesis adalah pita yang terbentuk di gel, dan dapat dilihat dengan sinar UV karena dalam proses elektroforesis juga ditambahkan EtBr yang menempel diantara basa nukleotida dan memberi pendaran warna jika diberi sinar UV.
Jika hasil elektroforesis hanya terdapat satu pita saja, DNA tersebut dapat langsung disekuensing, sedangkan jika terdapat lebih dari satu pita, harus dilakukan gel cut terlebih dahulu untuk memisahkan spacer dari jenis mikroba yang berbeda.
            Gel cut adalah metode untuk mengambil atau memurnikan DNA dari gel hasil elektroforesis. Tujuan dari gel cut ini adalah untuk mengambil DNA dari band yang ada di hasil elektroforesis. Tahap awal gel cut adalah pemotongan gel. Kemudian potongan tersebut ditimbang dan dilarutkan menggunakan binding buffer untuk melarutkan gel dan dilakukan sentrifuge. Setelah itu kit dicuci dengan washing buffer kemudian disentrifuge lagi untuk memurnikan DNA. Setelah menggunakan washing buffer, kit dielusi dengan air (ddH2O). Air digunakan untuk mengelusi, karena bila buffer diigunakan untuk mengelusi, dapat mengganggu proses sekuensing.
            Setelah melakukan elektroforesis dan gel cut (jika hasil elektroforesis terdapat lebih dari satu band), selanjutnya adalah DNA disekuensing. Metode yang digunakan adalah metode dye terminator, yaitu PCR dengan menambahkan komponen khusus ddNTPs. Kegunaan bahan khusus tersebut adalah memberi warna pada ujung basa dan untuk menghentikan penambahan basa saat elongasi di PCR. Berikut alat dan bahan yang digunakan pada metode dye terminator :
-        PCR : untuk mengamplifikasi DNA
-        dNTPs : sebagai bahan penyusun untai DNA baru
-        ddNTPs : sama dengan dNTPs hanya saja akan memberi pendaran warna yang berbeda untuk masing-masing basa (A,T,G,C) dan juga untuk menghentikan proses polimerasi PCR, sehingga ujung setiap hasil PCR adalah ddNTPs
Bahan lainnya sama dengan proses PCR biasa. Metode dye-terminator dipilih karena dapat membaca hampir keseluruhan dari DNA yang diinginkan serta hemat waktu. Proses sekuensing ini dilakukan dengan pengulangan sebanyak 3 kali untuk tiap primer, untuk memastikan bahwa hasil pembacaan sudah tepat. Primer yang digunakan adalah primer yang komplemen dengan sekuens disamping insert (sebelum dan sesudah insert). Primer ini dipilih, karena keterbatasan sekuens yang bisa terbaca. Sebanyak kurang lebih 20 basa awal dan akhir dari sekuens yang disekuens tidak dapat terbaca. Hal yang perlu diperhatikan, setiap primer harus dijalankan masing-masing. Berikut contoh hasil dye terminator tersebut :
Pada proses elongasi, nukleotida diambil secara random hingga suatu saat diambil ddNTPs yang menghentikan pemanjangan tersebut. Dari hasil PCR tersebut, DNA dapat disekuensing sesuai warna seperti gambar diatas, dan untuk mengurutkannya pada alat sekuenser digunakan prinsip seperti elektroforesis, dimana fragmen yang ukurannya lebih rendah akan dibaca terlebih dahulu.
            Setelah didapat satu sekuens, untuk mencari spesies sekuens DNA tersebut, dilakukan metode BLAST, yaitu mencari kemiripan sekuens DNA dengan sekuens DNA yang sudah diketahui spesiesnya, yang terdapat dalam data NCBI. Sekuens yang didapat dari proses diatas diinput dan di BLAST, kemudian akan keluar persentase kemiripan dari semua spesies yang sudah diketahui DNAnya. Cara ini dapat dilakukan karena spacer antara 16s rDNA dan 23s rDNA spesifik terhadap satu spesies tertentu.
Untuk mendapatkan semua spesies yang ada didalam tuak tersebut, ulangi langkah mengambil satu koloni mikroba yang berbeda dari agar plate hingga tahap sekuensing. Metode diatas cukup untuk menentukan sebagian besar spesies mikroba yang terdapat dalam sampel. Namun masih terdapat beberapa kekurangan, yaitu :
-        Banyaknya perulangan dari proses pengambilan koloni mikroba hingga sekuensing.
-        Adanya DNA yang tidak teramplifikasi saat PCR pertama karena terlalu banyak jenis DNA yang digunakan sebagai template sehingga tidak dapat disekuensing.
-        Banyak DNA yang tidak ikut terinsert dan tertransformasi ke mikroba sehingga tidak dapat di sekuensing.
-        Ada kemungkinan kecil mikroba terinsert oleh dua plasmid insert DNA yang panjang basanya hampir sama sehingga hasil elektroforesis hanya menunjukan satu band dan saat disekuensing, data tidak terbaca.
Kesimpulan
Metagenomik adalah suatu metode penelitian dimana sampel diambil langsung dari lingkungan dalam bentuk konsorsium mikroba. Untuk mengidentifikasi spesies dari sample, digunakan metode sekuensing dari spacer atau ISR (diantara 16s rDNA dan 23s rDNA) dimana setiap spesies memiliki sekuens yang berbeda. Setelah itu, dilakukan metode BLAST dari NCBI. Prinsip dari BLAST adalah mencari persentase kemiripan suatu sekuens DNA dengan DNA dari organisme yang sudah diketahui.
Daftar Pustaka
Barry T., et al. 1991. The 16s/23s ribosomal spacer region as a target for DNA probes   to identify eubacteria. Genome Research
Birren, B. Et al. 1997. Genome analysis: A Laboratory Manual Volume 1. Cold Spring Harbor Laboratory Press
Birren, B. Et al. 1997. Genome analysis: A Laboratory Manual Volume 3. Cold Spring Harbor Laboratory Press
Boyer, Sarah L., Valerie R. Flechtner, dan Jeffrey R. Johansen. 2001. Is the 16S–23S rRNA Internal Transcribed Spacer Region a Good Tool for Use in Molecular Systematics and Population Genetics? A Case Study in Cyanobacteria. http://mbe.oxfordjournals.org/.
Graham, Thomas A. 1990. Characterization of The 16s/23s Ribosomal Rna Intergenic Spacer Regions of  Listeria. Simon Fraser University.
Hookey,  J.V., R. J. Birtles, dan N. A. Saunders. 1995. Intergenic 16S rRNA Gene (rDNA)-23S rDNA Sequence Length Polymorphisms in Members of the Family Legionellaceae. Journal of Clinical Microbiology.
Isenbarger, Thomas A. et al. 2008. The Most Conserved Genome Segments for Life Detection on Earth and Other Planets. Springer Science.
Nobutada, Kimura. 2006. Metagenomics: Access to Unculturable Microbes in the Enviroment.
Rega, K. Et al. Handout Teknik Analisa DNA. Universitas Surabaya.
Riesenfeld, Christian S., Patrick D. Schloss. 2004. METAGENOMICS: Genomic Analysis of Microbial Communities. Annual Review of Genetics.
Zeyaullah, Md. et al. 2009. Metagenomics - An advanced approach for non–cultivable micro-organisms.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar